Ayo Indonesia, Go Visioner!
Indonesia, Masih Bidik Jauh Target Pendidikan dengan Mata Telanjang
Oleh : Reza Ardiansyah Saputra
“Pendidikan adalah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka stigma bahwa pendidikan hanyalah hak anak orang
kaya saja harus segera dihapuskan! Karena tidak sesuai dengan peri memanusiakan
manusia dan peri pengentasan kemiskinan.”
-
Penggalan dari pembukaan UUD 1945 yang dipelintir oleh penulis
Indonesia merupakan negara adidaya,
sama halnya seperti Amerika Serikat. Perbedaannya adalah Amerika Serikat dengan
statusnya sebagai dewan keamanan tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa bebas
menentukan negara mana saja yang akan dibantu perekonomiannya, negara mana saja
yang seharusnya berperang, negara mana yang seharusnya diberi pinjaman
keuangan, dan lain sebagainya. Sedangkan Indonesia dengan wilayahnya yang
membentang panjang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote,
bebas menentukan wilayah mana saja yang akan dimajukan kualitas pendidikannya,
wilayah mana saja yang akan diutamakan permasalahan pendidikannya, atau bahkan
ada beberapa wilayah yang luput dari penentuan wilayah mana-wilayah mana, yang
artinya wilayah tersebut tidak diprioritaskan peningkatan mutu pendidikannya (diabaikan).
Nasib pendidikannya masih terombang-ambing, percis semperti sampan yang ada di tengah
danau yang didiamkan saja dengan alasan “karena memang sulit dijangkau”. Sekali
saya tekankan bahwa keadikuasaan Indonesia dalam menentukan segmentasi
pemerataan pendidikan sudah cukup baik, hanya saja standar cukup baik itu masih
di bawah baik dan sangat baik. Bahkan bila dikonversikan dalam nilai berskala
A-D, cukup baik hanya ada satu level di atas kurang baik (D).
Permasalahan pendidikan dewasa ini bukan
lagi buta huruf (aksara), menurut data dari Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia
yang berhasil diberaksarakan mencapai 97,932% atau tinggal sekitar 2,068%
(3,474 juta orang) yang masih buta aksara[1]. Hal
substansial yang menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini adalah bangsa
Indonesia masih miskin literasi! Di satu sisi Indonesia kebanjiran informasi,
tapi naasnya di sisi lain Indonesia miskin literasi. Daya kritis masyarakat
Indonesia terhadap informasi yang berseliweran masih sangat rendah. Buktinya
banyak dari kita (bangsa Indonesia) yang langsung percaya dengan berita yang
tidak jelas referensinya[2].
Sekalipun referensi dari suatu berita dinilai kredibel oleh publik, tetap saja pembaca
harus cermat dalam mengkritisi dan melakukan filtrasi terhadap berita-berita
yang bisa saja merupakan hasil rekonstruksi.
Merupakan sebuah utopia bagi Indonesia
jika berangan-angan untuk dapat merajai pasar Asia Tenggara bahkan menjadi
“macan Asia” -seperti yang pernah digagas oleh Soekarno dan Prabowo- apabila
tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya. SDM
yang unggul tentu bisa diciptakan melalui pendidikan dan pelatihan yang intensif
dan komprehensif. Misalnya saja apabila Indonesia membutuhkan bibit-bibit yang unggul
dalam bidang fesyen. Maka yang bisa dilakukan adalah memberdayakan desainer-desainer
Indonesia yang telah meraih berbagai prestasi di industri fesyen Internasional,
untuk melatih para anak muda pegiat industri fesyen di Indonesia. Selain itu,
cara lain adalah dengan menyekolahkan anak-anak muda Indonesia yang potensial
dan concern dalam bidang fesyen, di sekolah
fesyen terbaik dunia, London College of
Fasion misalnya. Tentunya dengan komitmen apabila anak-anak muda tersebut
telah menyelesaikan studinya, maka harus mengabdi kepada negara dengan cara
memajukan perekonomian maupun pendidikan Indonesia. Karena memang sejatinya
pendidikan tidak melulu soal muatan pelajaran di sekolah, tetapi jauh
lebih luas dari itu dan hal di atas merupakan salah satu contohnya.
Permasalahan pemikiran konservatif yang menyebabkan Indonesia masih
berkutat pada masalah cabe mahal, BBM naik terus, tarif daftar listrik dinaikan
secara sepihak dan lain sebagainya sungguh merupakan ketertinggalan yang amat
jauh bagi Indonesia dari negara sekaliber Jepang, yang sudah memasuki era
Society 5.0. Ketika Indonesia sibuk mengejar revolusi industri 4.0, Jepang
lebih maju satu langkah dengan kesiapan mereka menerapkan Society 5.0. Negara
sakura tersebut kini berambisi mendigitalisasi seluruh aspek kehidupan
mengingat semakin memburuknya krisis buruh dan pesatnya penuaan pendidik di
negera itu[3].
Jika seorang tentara ingin menembak target jauh di depan, tentu akan kesulitan jika hanya mengandalkan pengelihatan dengan mata telanjang. Tentu membutuhkan teropong binokular sebagai alat bantu untuk kemudian menetukan strategi apa yang cocok untuk diterapkan.
Begitupun negara ini, tentu perlu memberikan pendidikan dan pelatihan kepada
generasi muda yang nantinya akan diberdayakan sebagai alat bantu pencapaian target negara. Indonesia memang saat ini sedang tertinggal, tapi ketahuilah,
seekor kura-kurapun dapat mengejar seekor kancil dalam lomba balap lari apabila
ia fokus dan konsisten terhadap tujuan.
Komentar
Posting Komentar