Qurban : Berlomba-lomba dalam Banyak-banyakan
Idul Adha, siapa yang menolak akan kehadirannya? Hari tersebut merupakan momentum bagi seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia untuk melakukan penyembelihan hewan Qurban, di samping tentunya menjadi spesial karena bertepatan pada momentum pelaksanaan haji di Mekkah Al Mukarrama. Di Indonesia pada umumnya, kita banyak temui mendadak sejumlah lahan kosong disulap menjadi tempat penjualan atau penampungan hewan Qurban sementara. Dalam hitungan hari dalam seminggu, hewan-hewan tersebut habis terjual. Yang tersisa hanya kotoran-kotorannya saja, baik kotoran kambing yang bentuknya mirip choco chip, maupun kotoran sapi yang bertebaran di mana-mana bagaikan ranjau yang siap meledak kapan saja bila diinjak.
Euforia anak-anak menyambut datangnya hari tersebut, semakin meyemarakan atmosfer keceriaan dan kebahagiaan. Mulai dari berkerumun saat hewan Qurban datang, sekedar melihat dari kejauhan, sampai yang paling ekstrem, menunggangi sapi. Tentu saja momentum sekali setahun tersebut tak akan mereka sia-siakan. Nah lantas bagaimana dengan kaum mudanya? Bagaimana pula dengan orang dewasanya? Mari kita ulas sedikit namun nyelekit.
Fenomena yang kerap kali ditemui di lapangan, terutama dikalangan para pemotong daging Qurban yaitu ; satu dua oknum yang mengincar daging tambahan untuk dibawa pulang, yang menyebabkan rekan-rekan sesama pemotong lainnya juga tak mau kalah (latah). Alhasil, semua berlomba-lomba untuk mengklaim daging yang belum di (istilahnya) pak-pakin sebagai miliknya, dan berdalih bahwa itu sebagai berkah hari Idul Adha/ berkah tukang motongin/ berbagai dalih lainnya yang mengundang tawa. Hal tersebut belum ditemui obatnya sampai sekarang. Yang jelas, praktik tersebut telah merusak muruah (marwah) dari berqurban, yakni kerelaan seorang hamba untuk mengorbankan apapun yang dimilikinya kepada Allah SWT. jika memang itu perintahnya.
Sementara si pemotong daging hewan Qurban yang mendapat jatah daging plus-plus berpesta pora, sedangkan yang lain masih ada saja yang meja makannya sepi makanan berprotein. Intinya makanan saat momentum Idul Adha masih sama saja dengan makanan sehari-hari, no meat detected. Lantas siapa yang salah? Kemudian siapa yang rela untuk disalahkan? Hmm.. tidak perlu dijawab. Tentu tidak perlu menyalahkan pihak manapun. Karena memang yang paling mudah adalah mencari-cari kesalahan. Pihak si pemotong bisa dibilang salah, karena bersikap serakah. Pihak berikutnya juga bisa saja disalahkan, kenapa dia miskin? Lalu kenapa dia tidak minta jatah ke panita Qurban. Kenapa kenapa kenapa dan seterusnya. Sampai akhirnya si miskin mengalah, dan lebih memilih terima keadaan dan mengambil sikap; no meat no cry.
Ya, manusia memang memiliki perangai untuk tidak pernah merasa puas. Tapi superego kita seharusnya bisa untuk mengontrol diri agar bisa jauh dari prilaku serakah. Siapapun yang telah membaca tulisan ini, saya doakan semoga saja setiap tahunnya bisa berqurban. Bahkan bukan hanya dalam bentuk hewan Qurban, tapi juga berkurban perasaan. Perasaan yang sebenarnya adalah penyakit hati, yang menyebabkan sifat maruk, serakah dan kikir terpancar dari dalam diri. Sejatinya Idul Adha adalah pendidikan bagi umat islam agar terbentuk akhlak yang suka berbagi, ikhlas dan tentunya memiliki semangat sami'na wa atho'na, taat pada perintah Allah SWT. tanpa tapi. Sebagai umat yang cerdas, mari kita hindari praktek-praktek tak cerdas di atas, dan mari kita dawamkan / tanamkan sifat dan sikap peduli terhadap sesama manusia (hablumminannas) dan prinsip sami'na wa atho'na (hablumminallah) agar kelak kita menjadi sebenar-benarnya insan yang bertaqwa dan berakhlakul karimah. Stop serakah, be a Taqwa man!
Komentar
Posting Komentar