Tarik Ulur di Langit

 Tarik Ulur di Langit

Oleh : Reza Ardiansyah Saputra


“Setelah mendapatkan angin, diadu dah,” jawab Ahmad Fauzi dengan santainya, sambil melihat temannya menaikan layangan.

           
            Setu Babakan merupakan salah satu tempat rekreasi di wilayah Jakarta Selatan. Tempat yang luas dengan hembusan angin yang kencang seakan mengundang para pengadu layangan untuk berkompetisi, berusaha memenangkan perkelahian langit dengan benang sebagai senjatanya. Empat remaja nampak serius, begitu mendapati layangan musuh yang semakin mendekat. Mereka adalah Ahmad Fauzi (15), Bambang (14), Rama (13) dan Fadil (15).

            “Tempat yang enak buat main layangan di Setu, bang. Tempat yang gak enak di depan rumah. Soalnya banyak kabel (listrik). Terus juga banyak pohon-pohon tinggi,” ujar Ahmad Fauzi, siswa SMK Citra Negara yang bertempat tinggal di sekitaran Setu Babakan. Ahmad Fauzi dan teman-temannya mengaku lebih menyukai bermain layangan ketimbang permainan lain. “Lebih seru main layangan, bang. Menantang lah gitu jatohnya. Bisa membuat perasaan yang tadinya gak enak jadi enak gitu, bang,” jawab Ahmad Fauzi dibantu oleh teman-temannya.

            Semakin sore, nampak semakin ramai pula Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Bukan hanya tempat rekreasinya saja yang ramai, tetapi taman Setu Babakan, yang masih berupa tanah lapang, juga ramai didatangi pengunjung. Baik pengunjung lokal atau warga sekitar, maupun pengunjung dari luar Setu Babakan.

            Dengan membayar tiket sebesar tiga ribu rupiah pengunjung dapat memasuki kawasan Setu Babakan yang dibuka mulai pukul enam pagi hingga pukul tujuh malam. Dan ramainya tempat tersebut oleh para pengadu layangan hanyalah pada sore hari. “Kalau siang masih kurang jelas bang anginnya, masih muter-muter. Paling enak main dari jam setengah empat sore sampai jam enam sore,” ujar Ahmad Fauzi berusaha menjelaskan.

            Pengetahuan mengenai cara menaikan layangan, mengetahui arah angin dan teknik mengadu layangan mereka akui didapat dengan belajar sendiri atau otodidak. Awalnya hanya melihat dan memperhatikan orang lain bermain layangan. Selanjutnya mencoba menaikan layangan sendiri dan akhirnya seiring berjalannya waktu, pengalaman yang mereka dapati membuat mereka bisa menaikan layangan bahkan mahir dalam mengadu layangan.

            Ketika bercengkrama dengan mereka, terlintas kebingungan dibenak saya, kenapa mereka memilih bermain layangan di zaman yang modern ini? Bukankah kebanyakan anak lebih suka permainan yang serba online? Perasaan seperti apa yang hanya mereka dapatkan saat bermain layangan dibanding dengan permainan lain?
            Pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya pun terjawab sudah oleh para remaja tersebut dengan wajah yang ceria, “Seru-an main layangan lah, bang. Banyak teknik tersendiri yang hanya bisa dipakai saat bermain layangan.” Kebingungan saya pun berubah menjadi pemahaman mengenai arti bahagia bagi mereka. Keseruan bermain layangan, yang hakikatnya dimainkan di langit jelas berbeda sensasinya dengan permainan yang dimainkan di darat. Perlu teknik tersendiri untuk bisa memainkannya.

Langkah-langkah menaikan layangan

            “Paling pertama bikin talikama dulu bang,” ujar Ahmad Fauzi. Talikama yang ia maksud merupakan benang berukuran pendek yang diikat pada bagian atas kerangka layangan (pertemuan kerangka horizontal dan vertikal) dan bagian bawah (beberapa sentimeter dari ujung kerangka paling bawah).

            Kedua, dengan mencari arah angin.
           
            Ketiga, “Naikan dengan di kedet ulur, bang,” ujar Ahmad Fauzi.

            Keempat, Bambang lah yang menjelaskan, “Setelah dapat angin. diulur.” Ahmad Fauzi agak kurang setuju dengan penjelasan Bambang yang kurang lengkap baginya, “Jangan kebanyakan diulur tapinya, nanti kejauhan (layangannya).”

            Kelima, “Setelah mendapatkan angin, diadu dah,” jawab Ahmad Fauzi dengan santainya, sambil melihat temannya memainkan layangan. Canda temannya, “Yang bener mengadu. Kalau diadu mah, kita diserang.” Mereka pun tertawa dengan polosnya.

Istilah-istilah dalam bermain layangan

            “Ada yang namanya babatan, bang,” kata Ahmad  Fauzi dengan semangat. Teman-temannya menerangkan bahwa ‘babatan’ merupakan teknik menarik benang dengan cepat, terus menerus untuk memberikan efek kejut dan gesekan yang maksimal agar layangan musuh dapat dikalahkan.

            “Naikan dengan kedet ulur, bang,” lanjut mereka. Mereka menerangkan bahwa di’kedet’ (ditarik) supaya layangan terbang tinggi dan di‘ulur’ supaya layangan terbang jauh.

            “Kotokan, bang,” celoteh salah seorang dari mereka. “Atau susrukin, bang. Sama saja,” lanjutnya.

            “Ulukin, bang,” jawab salah seorang dari mereka dengan suara lantang. “Nama lainnya petekin,” sahut yang lain. ‘Ulukin’ atau ‘petekin’ merupakan langkah awal menaikan layangan dengan meminta salah satu teman untuk memegangi layangan (biasanya di dekatkan pada dada) sampai jarak yang cukup jauh, kemudian dilepaskan.

            “Bandangan, iya bandangan,” ujar empat remaja tersebut. ‘Bandangan’ merupakan layangan musuh yang tersangkut pada benang si pemenang.”

            Istilah lainnya yaitu, ‘singit’. Layangan dikatakan ‘singit’ apabila berputar-putar akibat talikama yang salah. ‘Toel’ atau ‘telap’, yaitu layangan putus dari benangnya. Layangan yang toel biasanya dikejar-kejar oleh pemburu layangan, yang biasanya anak-anak.

Bermain layangan sebagai hobi

            Kendati masih remaja, tetapi mereka memiliki kesan positif untuk permainan layangan. “Main layangan itu hobi. Hobi yang mengasyikan, bisa menambah wawasan dan banyak teman.”

           


            

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sambutan Ketua Panitia BTS

Film Sang Pemimpi Resensi

Stop Instanisasi Pengetikan!