Mengapa Selalu Impor?


Mengapa Selalu Impor?

Oleh : Reza Ardiansyah Saputra



            Indonesia telah lama dikenal sebagai Negara agraris, yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tapi mengapa tidak sanggup swasembada beras? Rakyat Indonesia makanan pokoknya yaitu nasi. Tak kenyang rasanya bila makan lauk tanpa nasi. Tapi kenapa untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok harus mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar dan Negara lainnya?



            Meski menjadi Negara pengonsumsi kedelai terbesar di dunia, namun ironinya kebutuhan kedelai Indonesia bergantung dari impor. Dilansir dari Detik Finance.com 15/12/2016, tiap tahunnya rata-rata angka impor kedelai di atas 2 juta ton, sebagian berasal dari Amerika Serikat. Direktur Perlindungan Tanaman Kementrian Pertanian (Kementan), Dwi Iswari, mengatakan untuk tahun 2016 sebanyak 68% kebutuhan kedelai ini dipasok dari impor. Padahal, kedelai merupakan bahan baku untuk produk panganan asli Indonesia yakni tempe. Pertanyaan sederhananya, Indonesia negeri tempe tapi kok impor kedelai?



            Beralih ke Industri barang elektronik, setiap tahunnya produsen barang elektronik –luar negeri- sibuk mengembangkan inovasi teknologi dan bersamaan dengan itu Indonesia sibuk untuk memenuhi permintaan pasar dengan melakukan kerjasama dengan produsen luar negeri. Mengapa negeri ini tidak berani mempercayai dan memakai produk Industri dalam negeri? Berlarut-larut Negara agraris dan maritim ini nyaman dengan kondisi demikian sehinggan tercipta ketergantungan pada produk luar negeri.



            Ketidaksanggupan Industri lokal menciptakan produk yang mampu bersaing dengan produk unggulan dunia mengakibatkan impor selalu menjadi andalan. Seakan-akan impor merupakan solusi terbaik untuk mengatasi permintaan pasar yang kian progresif. Fenomena seperti ini menjadi peluang bagi raksaksa industri dunia untuk semakin melebarkan sayap perniagaannya di seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga akan memperkokoh keberadaannya di Indonesia dengan menyerap banyak tenaga kerja Indonesia dan menarik simpati serta kepercayaan konsumen terhadap produknya. Tujuannya tak lain tak bukan agar bisa menguasai pasar Indonesia yang mana pesaing mereka merupakan sesama raksaksa industri dunia.



            PT. LG Elektronies Indonesia misalnya, selalu bertekad menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi konsumen dari perekonomiaan Indonesia. LG all inverter sebagi produk unggulan terbaru diperkenalkan dan diharapkan akan berdampak langsung pada pengurangan biaya oleh pengguna, sesuai tekad mereka menciptakan produk hemat energy (dikutip dari Koran Kompas, 19/4/2017). Kecerdasan perusahaan luar negeri dalam memberikan pelayanan prima terhadap konsumennya membuat negeri ini terlena dan tidak sadar bahwasannya sedang dijajah dalam aspek ekonomi serta memupuskan harapan untuk bias bersaing dengan perusahaan-perusahaan ternama dunia.



            Selanjutnya, ketergantungan akut Indonesia dalam segi otomotif membuat perusahaan-perusahaan otomotif dunia semakin produktif menciptakan beragam inovasi dan gencar meningkatkan produksi demi memberikan kepuasan terhadap konsumennya. Berpuluh-puluh tahun sudah Indonesia dikuasai oleh gurita otomotif dunia sehingga melunturkan asa untuk dapat membauat produk saingan. Minimnya dukungan pemerintah terhadap perusahaan otomotif lokal dalam hal material, sumber daya manusia yang memadai, pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi, serta kemudahan untuk memasuki pasar mengakibatkan perusahaan lokal angkat tangan. Mereka memilih pasrah karena menyadari bahwa begitu sulitnya memasuki pasar, membangun kepercayaan konsumen dan menciptakan produk berkualitas untuk menyaingi produk otomotif dunia yang sudah terlanjur mendapat kepercayaan di hati pelanggannya, bila tanpa adanya dukungan serius dari pemerintah yang signifikan dan berkelanjutan.



            Perusahaan otomotif sekaliber Yamaha, Honda, dan Suzuki yang telah menjadi penguasa pasar oligopoly apakah mungkin akan berhenti berproduksi? Apakah mungkin akan berhenti berinovasi? Sejauh ini Indonesia terlampau memberi keleluasaan terhadap perusahaan otomotif tersebut lagi-lagi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tiada habisnya. Mari kita membuka mata terhadap perkembangan industry dunia, Malaysia yang merupakan Negara yang bersebelahan dengan Indonesia memiliki proton yang telah beredar luas di Malaysia dan bahkan telah diekspor ke berbagai Negara. Italia memiliki vespa yang pamornya tak lekang oleh waktu dan tetap digemari. Jerman memiliki Volkswagen (VW) –yang memiliki arti “mobil rakyat”- yang tetap eksis, Daimer (produk merk Mercedes) dan BMW yang mejadi Industri terbesar di Jerman. Mungkinkah Indonesia dapat menyusul menciptakan produk otomotif sendiri untuk setidaknya memenuhi kebutuhan lokal?



            Industri otomotif Indonesia bukanlah tanpa usaha. Menengok puluhan tahun silam, produk otomotif asli Indonesia  pernah berjaya di negeri sendiri, digemari dan melalu lalang di jalan-jalan. Walaupun suku cadangnya menggunakan buatan Eropa dan Jepang. Mesin buatan Jepang memang sudah unggul sejak puluhan tahun lalu. Berbeda dengan buatan Indonesia  tempo dulu yang cepat panas, mesin keluaran Jepang tidak cepat panas dan mudah perawatannya. Selain itu, suku cadangnya banyak beredar dan harganya bias ditolerir. Kendati demikian, rekam jejak otomotif dalam negeri Indonesia  masih lebih baik dari zaman sekarang, yang mana bukan hanya mesin, suku cadang atau onderdil saja yang diiompor dari luar, melainkan satu set mobil jadi (siap pakai).



            Zaman terus berganti, ilmu pengetahuan terus berkembang dan teknologi semakin canggih. Era modern ini, Negara yang mampu untuk selalu berinovasi -dalam hal industry- akan bias menguasai pasar. Dan yang tak mampu akan mengidap ketergantungan impor dan lambat laun membentuk karakter konsumtif. Perdagangan bebas yang tak terkontrol menyebabkan mudahnya pendistribusian produk luar negeri ke Indonesia. Lalu nasionalisme terhadap produk lokal yang minim tak ayal berdampak buruk bagi suatu Negara. Melirik industry tekstil dalam negeri, produk tekstil buatan para pengrajin Indonesia tidak kalah kualitasnya dari tekstil luar negeri, bahkan dari beberapa hasil kain tenun, batik, dan lainnya Indonesia jauh lebih mengungguli. Tekstil hasil pengrajin Indonesia memiliki potensi untuk menjadi komoditi ekspor ke berbagai Negara. Tapi sangat disayangkan, lagi lagi persoalan terlalu mudahnya tekstil luar negeri merambah pasar Indonesia membuat para pengrajin tekstil Indonesia tak mampu berbuat banyak. Tak sanggup rasanya mereka menurunkan harga hingga sepadan dengan produk tekstil luar negeri mengakibatkan produk mereka kalah saing. Produk tekstil asal China, misalnya. Kuantitas yang melimpah dengan harga yang murah memaksa pabrik-pabrik tekstil di Tanggerang –misalnya- gulung tikar karena sepi peminat. Dilansir dari Tempo.co dalam salah satu artikelnya pada 21 Desember 2015 yang berjudul “16 Industri Tekstil di Tanggerang Gulung Tikar” menyebutkan bahwa industry-industri yang mengalami kebangkrutan ini sabagian besar memproduksi tekstil, sandang dan kulit. Akibatnya, ribuah pekerja dari industry-industri itu mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh manajemen perusahaan. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanggerang, Apon Suryana, keenam belas industry yang mengalami kebangkrutan tersebut telah melapor. “Sekitar 7.300 pekerja yang kena imbas dari kebangkrutan industry-industri tersebut,” katanya.



            Kegemaran dan kebanggan masyarakat Indonesia memakai produk luar negeri menyulitkan industri dalam negeri untuk mengembangkan usahanya. Produk tersebut diantaranya merk Adidas, Nike, Puma dan lainnya. Merk dagang tersebut apabila ditemui dipasaran hampir pasti merupakan imitasi dari produk aslinya.  Sedangkan produk aslinya yang diproduksi di Serang dan Tanggerang hanya ditargerkan untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri.



            Masih mengenai impor, untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi pun Indonesia harus impor dari sejumlah Negara. Masih ingatkah kita akan fenomena harga daging sapi segar di pasar yang mencapai Rp 120 ribu per kilogram? Seperti yang dimuat oleh Liputan6.co, edisi 15/9/2016 dalam artikel yang berjudul “RI Habiskan Triliunan Rupiah buat Impor Sapit dari Austarlia” menjelaskan bahwa di kala itu Australia selama delapan bula ini rutin memasok daging sapi maupun sapi hidup ke Indonesia untuk memenuhi tingginya permintaan. Tujuan paling besar dari pemerintah Indonesia yang jor-joran impor daging sapi yakni untuk menekan dan menstabilitasi harga yang fantastis tersebut.



            Berdasarkan data dari Indopres.id pada 1/12/2016 dalam artikel yang berjudul “Impor Terbesar Indonesia Berasal dari China”, menyebutkan bahwa China mengungguli Singapura dan Jepang yang menduduki posisi kedua dan ketiga sebagai pemasok barang impor ke Indonesia. Kalau kita telaah, bagaimana Indonesia bias melunasi hutang-hutangnya kalau masih belum mampu mengatasi serbuan impor yang membabi-buta kepada Indonesia dalam berbagai aspek? Indonesia harus banyak belajar dari Negara-negara industry seperti China. Harus mampu menumbuhkan semangat wirausaha para warga negaranya, dan mulai mengolah bahan baku sendiri, sehingga dapat mengembangkan industry dalam negeri.



            Tengoklah Negara tetangga, Malaysia, yang kini menjadi pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Mereka begitu pandai memehami bahwa sebagian tanah mereka kurang cocok ditanami tanaman seperti, padi. Sehingga membuka lahan untuk ditanami kelapa sawit. Bahkan, perkebunan kelapa sawit mereka sudah merambah wilayah Indonesia, secara legal maupun ilegal.



            Sebagai Negara penghasil karet, Indonesia belum mampu berbuat banyak untuk mengolah hasil karetnya sendiri. Secara mentah, karet diekspor ke berbagai Negara industry. Karet jambu lah yang menjadi unggulan Indonesia dan telah diekspor ke Jepang, India dan Amerika. Padahal, apabila dapat diolah sendiri dan diubah menjadi barang jadi, maka akan memiliki nilai jual yang tinggi. Begitupun dengan kerjasama Indonesia dengan PT Freeport yang mana di dasari ketidaksanggupan Indonesia untuk mengolah bahan mentah. Sebuah kesalahan besar yang berkelanjutan dengan menyerahkan asset Negara untuk dikelola negera lain. Negeri ini harus bisa independen dan mengelola sumber dayanya sendiri untuk memaksimalkan pemasukan Negara.



            Seluruh rakyat Indonesia tahu dan bahkan seluruh dunia yang mengenal Indonesia meyakini bahwasannya Indonesia merupakan Negara yang kaya raya sumber daya alamnya dan memiliki potensi sumber daya manusia yang luar biasa. Banyak dari kita yang ragu apabila sumber daya manusia kita sendiri akan bisa mengolah sumber daya alamnya dengan maksimal. Namun tidak bagi orang luar negeri yang mengenal indonesia, mereka masih percaya bahwa orang Indonesia sangatlah hebat dan berpotensi menciptakan produk yang tiada tandingannya.



            Telepas dari ketergantungan impor Indonesia, ternyata terdapat komoditi Indonesia yang telah diekspor ke berbagai Negara. Seperti yang dimuat dalam Kompasiana.com tertanggal 18/3/2013 yang berjudul “30 Negara Kenakan Seragam Militer Buatan Indonesia”, bahwasannya Indonesia telah mengukir prestasi industry dikancah internasional. Seperti yang dilakukan PT Sri Rejeki Isunan (Sritex). Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang tekstil ini telah memasok seragam militer ke 30 negara. Bahkan seragam buatan Sritex ini menjadi standar seragam militer Nato. Perusahaan yang didirikan oleh Haji Mohammad Lukminto pada tahun 1966 di Sukoharjo Jawa Tengah ini, tak hanya memproduksi seragam militer saja, tetapi juga memproduksi merek-merek pakaian terkenal seperti Zara dan Timberland. Tak kurang 40 negara lainnya juga menjalin kerjasama perdagangan dengan perusahaan tekstil tersebut baik meliputi pakaian fashion berbagai model, kain dan benang.



            Sebagai Warga Negara Indonesia yang menginginkan Indonesia membaik perekonomiannya sudah sepatutnya kita mencintai produk dalam negeri. Arus globalisasi yang semakin kuat dan MEA yang sudah mulai terasa dampaknya dapat disiasati apabila bersatu untuk memakai produk dalam negeri dan menumbuhkan jiwa wirausaha. Think globally and Act locally. Berpikirlah secara mendunia dan bersikaplah sederhana sesuai dengan moral serta budaya lokal

Komentar

  1. Ada yang namanya produk unggulan komparatif, yaitu produk yang biaya produksinya lebih rendah dari negara lain, maka produk tersebut menjadi produk unggulan untuk dikembangkan di dalam negeri yang kemudian bisa menjadi komuditas ekspor di negara itu, contoh Minyak Kelapa Sawit (CPO) diekspor ke Amerika, Jepang, China, India, Kopi diekspor ke Amerika, Teh diekspor ke Rusia, biji cokelat diekspor ke malaysia.

    Sebaliknya ada komuditas yang harganya lebih murah dibandingkan dengan memproduksi dalam negeri, contoh harga kedelai Amerika Rp.2000 s/d Rp.4000 sedangkan harga kedelai lokal Rp.6000 s/d Rp.8000 per kilonya karena biaya produksi kedelai di dalam negeri lebih mahal dari pada mendapatkan kedelai dari luar negeri. Maka diberlakukanlah kebijakan impor untuk komuditas kedelai untuk menjaga stabilitas harga kedelai di dalam negeri.

    Demikianlah negara lain juga melakukan kebijakan neraca perdagangan agar bisa menyediakan produk yang terjangkau untuk rakyatnya.
    Contoh bagaimana bisa harga beras di Singapura lebih murah dari Indonesia padahal singapura tidak punya lahan Pertanian, harga gula di Malaysia lebih murah.
    Karena mereka lebih fokus dalam mengembangkan produk unggulannya untuk mendapatkan keuntungan pasar dunia, nilai ekspor produk tersebut sangat tinggi, sehingga mampu menyediakan produk yang tidak diproduksi lokal melalui impor dengan harga terangkau di dalam negeri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sambutan Ketua Panitia BTS

Film Sang Pemimpi Resensi

Stop Instanisasi Pengetikan!