Kalau Kita Takut Bersaing, Maka Bekuasalah Pekerja Asing
Pendidikan Modal Persaingan
Oleh : Reza Ardiansyah Saputra
Generasi muda merupakan gambaran dari imajinasi akan seperti apa suatu negeri beberapa tahun ke depan. Mereka haruslah dipersiapkan dengan baik karena merupakan regenerasi dari pemimpin-pemimpin dalam segala bidang. Negeri ini baiknya mampu mewadahi minat, bakat dan potensi generasi muda agar tercipta sumber daya manusia yang handal dan memiliki kompetensi untuk dapat bersaing dengan para pekerja asing. Persaingan tenaga kerja yang telah nyata dewasa ini menempatkan generasi muda pada sebuah lingkaran persaingan. Yang memiliki kompetensi di atas rata-rata akan bertahan, dan yang tidak akan tersingkir.
Tak ayal setiap tahun Indonesia menyerap para tenaga kerja asing untuk memiliki profesi yang strategis di negeri ini. Coba lirik dunia persepakbolaan Indonesia sebagai permisalan. Keinginan berbagai klub sepakbola Indonesia untuk memiliki pemain sepakbola yang ahli lagi cerdas, yang mereka temukan pada diri pemain asing, membuat pemain asing mendapat tempat di hati manajer klub. Ahli yang dimaksudkan yaitu memiliki keterampilan yang mempuni dalam mengolah si kulit bundar dan cerdas yang dimaksud yaitu berpendidikan sehingga memiliki ketajaman berpikir yang baik, yang mana dibutuhkan untuk menerapkan strategi saat berada di lapangan. Sedangkan kita perhatikan, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan persediaan pemain bola. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa generasi muda negeri ini masih kalah bersaing sehingga tenaga kerja asing (TKA) menjadi pilihan.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memberikan tekanan lebih bagi para generasi muda kawasan Asia Tenggara untuk memiliki kompetensi yang mampu bersaing. Betapa tidak? Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta, menjadi target pasar. Sungguh memprihatinkan, angka fantastis tersebut masih harus berebut lapangan kerja dengan tenaga kerja asing. Dengan segala macam kebebasan yang dihadirkan oleh adanya MEA, membuka pintu gerbang bagi tenaga kerja asing untuk berbondong-bondong merambah lapangan pekerjaan yang masih tersedia di Indonesia. Bahkan sampai bisa mengisi posisi atau jabatan yang strategis di negeri ini.
Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendidikan pada negera-negara anggota ASEAN, membuat mereka semakin produktif mencetak generasi berwawasan global. Memanfaatkan segala keuntungan dan kemudahan MEA, negara-negara yang telah meningkat pesat layanan pendidikannya dengan perlahan tapi pasti mulai mendistribusikan tenaga kerjannya untuk memiliki profesi pada ranah public di suatu negara. Misalnya guru, artis, manajer, pramugari dan sebagainya. Sedangkan negara-negara yang belum mampu bersaing, kebanyakan tenaga kerjanya berada pada ranah domestic di suatu negara. Misalnya asisten rumah tangga, penjaga keamanan pengurus bayi dan sebagainya. Yang mana belum bisa menjamin keselamatan mereka dalam hal kekerasan dan tindak asusila, dikarenakan ruang lingkup bekerja kurang mendapat pengawasan public.
Terbukanya lapangan pekerjaan diberbagai belahan dunia yang tidak mengharuskan untuk lulus jenjang pendidikan atau menguasai cabang ilmu tertentu, seakan menjadi lampu hijau bagi Tenaga Kerja Wanita Indonesia untuk mengadu nasib di sana. Iming-iming gaji yang besar sudah cukup menguatkan hati, meninggalkan suami, anak, orang tua, sanak keluarga dan yang lainnya. Kesejahteraanlah yang dicari, yang belum bisa mereka dapatkan dari sang kepala keluarga, maupun dari bekerja di negeri sendiri. Pendidikan yang mereka enyam yang hanya sebatas SMA/SMK atau kurang dari itu, menyulitkan mereka untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar.
Biasanya, Tenaga Kerja Wanita sampai rela bekerja nan jauh di sana meninggalkan sanak keluarga bukan murni keinginan mereka. Tetapi karena tuntutan ekonomi dan keterpaksaan agar bisa memenuhi kebutuhan keluargannya. Dalam lubuk hati mereka juga tersimpan keinginan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sehingga mampu merubah nasib keluarganya. Menyinggung mengenai hal tersebut, bolehkan mereka bekerja sampai ke luar negeri? Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi pengarahan dan mengeluarkan fatwa bahwasannya wanita yang bekerja meninggalkan keluarga haruslah bersama mahramnya. Jika tidak, akan menimbulkan masalah karena tidak ada jaminan keamanan dan kehormatan. Yang dimaksud mahram itu tak hanya suami, akan tetapi siapa saja yang haram untuk menikahinya.
Berlanjut mengenai permasalahan di atas, fatwa MUI menjelaskan kembali bahwa diperbolehkan sepanjang ditemani mahram atau teman perempuan yang dapat dipercaya atau dilindungi dan dijamin keamanannya oleh pemerintah. Dalam hal TKW Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban penuh, sebab dua syarat lainnya tidak bisa terpenihi. Jangan sampai terjadi seperti zaman jahiliyah sampai awal masuknya Islam, yang masih memperbolehkan seorang tuan untuk membeli dan memiliki budak perempuan. Untuk mengantisipasi segala hal terburuk, sepatutnya pemerintah menyadari betapa pentingnya pendidikan tambahan bagi TKW –yang nantinya bekerja pada ranah domestic- sebagai bentuk perlindungan diri dan agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Lagi-lagi pendidikan berperan penting sebagai modal untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan bekerja.
Padahal jika ditelusuri lebih teliti, terdapat cukup banyak bibit unggul dalam segala bidang. Namun, masyarakat terlanjur berpresepsi bahwasannya apapun –baik barang, jasa bahkan manusia- yang ‘diimpor’ memiliki nilai guna dan prestisius yang itu lebih tinggi dibandingkan produk ataupun sumber daya manusia dalam negeri. Anggapan tidak sepenuhnya salah. Namun, akan menjadi bom waktu jika generalisasi tanpa akal tersebut terus dilestarikan.
Stigma semacam itu sadar tak sadar justru terpupuksuburkan oleh sistem pendidikan kita. Kurikulum selalu berpaku pada standar internasional tanpa menengok keberagaman –termasuk ketimpangan- keadaan siswa di Indonesia. Semua itu dilakukan demi mengejar ketertinggalan ‘rating’, mempergegas stigma “segala sesuatu yang berbau asing, harus dijadikan rujukan”.
Indonesia yang sudah terang memiliki SDA yang berlimpah hingga saat ini belum mampu mengolahnya secara mandiri. Pasalnya, beberapa sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dimiliki negeri kaya raya ini malah dikelola dan dikuasai oleh pengelola asing. PT Freeport sebagai permisalalan. Perusahan tersebut ada dan selanjutnya menjadi raksaksa dalam dunia pertambangan emas di Indonesia dikarenakan ketidaksanggupan negeri ini untuk mengolah emasnya sendiri. Alhasil, bukan kerjasama mutualisme yang terjadi, malahan PT Freepot mendapatkan keuntungan hampir mutlak. Sedangkan Tembagapura, Papua –kawasann pertambangan emas PT Freeport- hanya mendapatkan ‘secuil’ dari hasil kekayaan buminya sendiri. Apabila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia, apakah besar pengaruhnya dalam hal ini? Tentu teramat besar pengaruhnya. Kalau saja negeri ini mengambil langkah menguliahkan generasi muda ke luar negeri untuk menguasai ilmu pertambangan, besar kemungkinan SDA negeri ini tak perlu repot-repot dikelola oleh pihak asing, melainkan dikelola secara mandiri agar tercipta kesejahteraan baik pada kawasan sekitar tambang, pekerja, maupun negeri ini.
Dalam hal pelayanan kesehatan, Indonesia masih kalah bersaing bahkan tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia yang masih dalam satu kawasan regional. Terlebih Singapura, rumah sakit-rumah sakit di Negeri Singa tersebut mengadopsi sistem pelayanan kesehatan terbaik se-Asia Tenggara. Bahkan, rumah sakit mereka menjadi rujukan apabila berbagai rumah sakit Indonesia tidak mampu menindaklanjuti pasien dengan maksimal karena keterbatasan alat, teknologi dan dokter spesialis. Padahal, kita tahu pada Perguruan Tinggi di Indonesia telah banyak berdiri Fakultas Kedokteran sebagai sumbangsih nyata untuk melahirkan dokter-dokter yang berkualitas, professional, kompeten dibidangnya dan diharapkan mampu bersaing serta mampu melakukan penelitian dalam dunia kesehatan. Kurang pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terkait pelayanan kesehatan dan kedokteran memaksa pelayan kesehatan, rumah sakit, laboratorium, dan sebagainya untuk bertahan pada level di bawah Singapura dan Malaysia.
Belum meratanya pendidikan di seluruh wilayah Indonesia menyebaabkan banyak potensi dan bakat anak-anak Indonesia yang tidak sempat tersalurkan. Bak mutiara di dalam laut, tidak terlihat oleh dunia dan belum bisa diberdayakan sebagai mana mestinya. Sewaktu pak Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan, terealisasi program Indonesia Mengajar. Yang mana melibatkan sarjana yang ditugaskan untuk mengajar di daerah-daerah yang belum terjamah pemerataan pendidikan.
Seperti halnya Indonesia Mengajar, ada juga program SM3T yang merupakan kependekan dari Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Program ini melibatkan LPTK (Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan) dalam menyeleksi sarjana yang sekiranya memenuhi kriteria dan lolos persyaratan untuk nantinya ditugaskan untuk mengajar di daerah 3T. Tidak dibebaskan bagi suatu LPTK untuk mengirim sarjananya ke daerah yang dikehendaki. Akan tetapi telah ditentukan daerahnya pun berikut kuota pengirimannya. Program ini baik dan efektif, namun tak selamanya daerah 3T hanya menjadi tempat untuk menampung guru sebelum berlanjut ke alur pelatihan PPG (Pendidikan Profesi Guru) untuk bisa menjadi guru professional. Perlu ada keseriusan pemerintah dengan mendistribusikan guru professional tetap dan perbaikan sarana, prasarana serta infrastruktur yang menunjang pendidikan ke daerah 3T.
Arti pentingnya bersekolah atau mengenyam pendidikan perlu ditanamkan oleh segala elemen kemasyarakatan agar anak-anak memiliki semangat untuk mengenyam pendidikan sedini mungkin. Cita-cita yang tinggi dan mulia juga baiknya telah dimiliki oleh anak-anak agar mereka terus berusaha keras untuk menggapai apa yang mereka impikan tersebut. Seorang anak yang cita-citanya tak lebih dari profesi orang tuanya dikala itu, akan memiliki semangat belajar dan bekerja yang tidak maksimal. Tidak sepenuhnya bersungguh-sungguh karena mereka melihat impian itu telah ada pada orang tuanya. Berbeda halnya dengan anak yang memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia. Dengan tingginya impian yang mereka buat, maka berpengaruh pada kerasnya usaha mereka untuk mengejar dan menggapai mimpi yang akan terlihat pada etos belajar dan bekerja yang baik nantinya.
Persaingan memang tak akan ada habisnya dalam segala bidang maupun berbagai aspek kehidupan. Manakala Indonesia pada tahun 2030 serupa perkembangan ipteknya dengan Jepang pada tahun 2017, tentulah waktu yang terus bergerak maju dan perubahan zaman tak memberi kesempatan banyak bagi Indonesia untuk menyaingi Jepang pada tahun yang sama, yakni 2030. Tak perlu banyak mengimpor teknologi terbaru dari negara-negara maju untuk bisa setara dengan mereka. Sebab hanya akan mempertegas budaya konsumtif dan rasa takut untuk bersaing. Yang perlu dilakukan Indonesia yaitu menanamkan arti pentingnya pendidikan sedini mungkin. Supaya bisa menjadi modal untuk bersaing pada level nasional dan internasional. Semangat bersaing dan jiwa kemandirian perlu tertanam pada lahir dan batin warga Negara Indonesia agar bisa mengelola SDA secara mandiri, meminimalisir impor, menciptakan produk unggulan untuk diekspor, tercipta tenaga kerja yang mampu bersaing dan menempati posisi atau jabatan strategis baik dalam negeri maupun luar negeri serta melahirkan generasi penerus pemimpin bangsa yang peduli akan pendidikan dan tidak takut akan persaingan.
Oleh : Reza Ardiansyah Saputra
Generasi muda merupakan gambaran dari imajinasi akan seperti apa suatu negeri beberapa tahun ke depan. Mereka haruslah dipersiapkan dengan baik karena merupakan regenerasi dari pemimpin-pemimpin dalam segala bidang. Negeri ini baiknya mampu mewadahi minat, bakat dan potensi generasi muda agar tercipta sumber daya manusia yang handal dan memiliki kompetensi untuk dapat bersaing dengan para pekerja asing. Persaingan tenaga kerja yang telah nyata dewasa ini menempatkan generasi muda pada sebuah lingkaran persaingan. Yang memiliki kompetensi di atas rata-rata akan bertahan, dan yang tidak akan tersingkir.
Tak ayal setiap tahun Indonesia menyerap para tenaga kerja asing untuk memiliki profesi yang strategis di negeri ini. Coba lirik dunia persepakbolaan Indonesia sebagai permisalan. Keinginan berbagai klub sepakbola Indonesia untuk memiliki pemain sepakbola yang ahli lagi cerdas, yang mereka temukan pada diri pemain asing, membuat pemain asing mendapat tempat di hati manajer klub. Ahli yang dimaksudkan yaitu memiliki keterampilan yang mempuni dalam mengolah si kulit bundar dan cerdas yang dimaksud yaitu berpendidikan sehingga memiliki ketajaman berpikir yang baik, yang mana dibutuhkan untuk menerapkan strategi saat berada di lapangan. Sedangkan kita perhatikan, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan persediaan pemain bola. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa generasi muda negeri ini masih kalah bersaing sehingga tenaga kerja asing (TKA) menjadi pilihan.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memberikan tekanan lebih bagi para generasi muda kawasan Asia Tenggara untuk memiliki kompetensi yang mampu bersaing. Betapa tidak? Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta, menjadi target pasar. Sungguh memprihatinkan, angka fantastis tersebut masih harus berebut lapangan kerja dengan tenaga kerja asing. Dengan segala macam kebebasan yang dihadirkan oleh adanya MEA, membuka pintu gerbang bagi tenaga kerja asing untuk berbondong-bondong merambah lapangan pekerjaan yang masih tersedia di Indonesia. Bahkan sampai bisa mengisi posisi atau jabatan yang strategis di negeri ini.
Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendidikan pada negera-negara anggota ASEAN, membuat mereka semakin produktif mencetak generasi berwawasan global. Memanfaatkan segala keuntungan dan kemudahan MEA, negara-negara yang telah meningkat pesat layanan pendidikannya dengan perlahan tapi pasti mulai mendistribusikan tenaga kerjannya untuk memiliki profesi pada ranah public di suatu negara. Misalnya guru, artis, manajer, pramugari dan sebagainya. Sedangkan negara-negara yang belum mampu bersaing, kebanyakan tenaga kerjanya berada pada ranah domestic di suatu negara. Misalnya asisten rumah tangga, penjaga keamanan pengurus bayi dan sebagainya. Yang mana belum bisa menjamin keselamatan mereka dalam hal kekerasan dan tindak asusila, dikarenakan ruang lingkup bekerja kurang mendapat pengawasan public.
Terbukanya lapangan pekerjaan diberbagai belahan dunia yang tidak mengharuskan untuk lulus jenjang pendidikan atau menguasai cabang ilmu tertentu, seakan menjadi lampu hijau bagi Tenaga Kerja Wanita Indonesia untuk mengadu nasib di sana. Iming-iming gaji yang besar sudah cukup menguatkan hati, meninggalkan suami, anak, orang tua, sanak keluarga dan yang lainnya. Kesejahteraanlah yang dicari, yang belum bisa mereka dapatkan dari sang kepala keluarga, maupun dari bekerja di negeri sendiri. Pendidikan yang mereka enyam yang hanya sebatas SMA/SMK atau kurang dari itu, menyulitkan mereka untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar.
Biasanya, Tenaga Kerja Wanita sampai rela bekerja nan jauh di sana meninggalkan sanak keluarga bukan murni keinginan mereka. Tetapi karena tuntutan ekonomi dan keterpaksaan agar bisa memenuhi kebutuhan keluargannya. Dalam lubuk hati mereka juga tersimpan keinginan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sehingga mampu merubah nasib keluarganya. Menyinggung mengenai hal tersebut, bolehkan mereka bekerja sampai ke luar negeri? Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi pengarahan dan mengeluarkan fatwa bahwasannya wanita yang bekerja meninggalkan keluarga haruslah bersama mahramnya. Jika tidak, akan menimbulkan masalah karena tidak ada jaminan keamanan dan kehormatan. Yang dimaksud mahram itu tak hanya suami, akan tetapi siapa saja yang haram untuk menikahinya.
Berlanjut mengenai permasalahan di atas, fatwa MUI menjelaskan kembali bahwa diperbolehkan sepanjang ditemani mahram atau teman perempuan yang dapat dipercaya atau dilindungi dan dijamin keamanannya oleh pemerintah. Dalam hal TKW Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban penuh, sebab dua syarat lainnya tidak bisa terpenihi. Jangan sampai terjadi seperti zaman jahiliyah sampai awal masuknya Islam, yang masih memperbolehkan seorang tuan untuk membeli dan memiliki budak perempuan. Untuk mengantisipasi segala hal terburuk, sepatutnya pemerintah menyadari betapa pentingnya pendidikan tambahan bagi TKW –yang nantinya bekerja pada ranah domestic- sebagai bentuk perlindungan diri dan agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Lagi-lagi pendidikan berperan penting sebagai modal untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan bekerja.
Padahal jika ditelusuri lebih teliti, terdapat cukup banyak bibit unggul dalam segala bidang. Namun, masyarakat terlanjur berpresepsi bahwasannya apapun –baik barang, jasa bahkan manusia- yang ‘diimpor’ memiliki nilai guna dan prestisius yang itu lebih tinggi dibandingkan produk ataupun sumber daya manusia dalam negeri. Anggapan tidak sepenuhnya salah. Namun, akan menjadi bom waktu jika generalisasi tanpa akal tersebut terus dilestarikan.
Stigma semacam itu sadar tak sadar justru terpupuksuburkan oleh sistem pendidikan kita. Kurikulum selalu berpaku pada standar internasional tanpa menengok keberagaman –termasuk ketimpangan- keadaan siswa di Indonesia. Semua itu dilakukan demi mengejar ketertinggalan ‘rating’, mempergegas stigma “segala sesuatu yang berbau asing, harus dijadikan rujukan”.
Indonesia yang sudah terang memiliki SDA yang berlimpah hingga saat ini belum mampu mengolahnya secara mandiri. Pasalnya, beberapa sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dimiliki negeri kaya raya ini malah dikelola dan dikuasai oleh pengelola asing. PT Freeport sebagai permisalalan. Perusahan tersebut ada dan selanjutnya menjadi raksaksa dalam dunia pertambangan emas di Indonesia dikarenakan ketidaksanggupan negeri ini untuk mengolah emasnya sendiri. Alhasil, bukan kerjasama mutualisme yang terjadi, malahan PT Freepot mendapatkan keuntungan hampir mutlak. Sedangkan Tembagapura, Papua –kawasann pertambangan emas PT Freeport- hanya mendapatkan ‘secuil’ dari hasil kekayaan buminya sendiri. Apabila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia, apakah besar pengaruhnya dalam hal ini? Tentu teramat besar pengaruhnya. Kalau saja negeri ini mengambil langkah menguliahkan generasi muda ke luar negeri untuk menguasai ilmu pertambangan, besar kemungkinan SDA negeri ini tak perlu repot-repot dikelola oleh pihak asing, melainkan dikelola secara mandiri agar tercipta kesejahteraan baik pada kawasan sekitar tambang, pekerja, maupun negeri ini.
Dalam hal pelayanan kesehatan, Indonesia masih kalah bersaing bahkan tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia yang masih dalam satu kawasan regional. Terlebih Singapura, rumah sakit-rumah sakit di Negeri Singa tersebut mengadopsi sistem pelayanan kesehatan terbaik se-Asia Tenggara. Bahkan, rumah sakit mereka menjadi rujukan apabila berbagai rumah sakit Indonesia tidak mampu menindaklanjuti pasien dengan maksimal karena keterbatasan alat, teknologi dan dokter spesialis. Padahal, kita tahu pada Perguruan Tinggi di Indonesia telah banyak berdiri Fakultas Kedokteran sebagai sumbangsih nyata untuk melahirkan dokter-dokter yang berkualitas, professional, kompeten dibidangnya dan diharapkan mampu bersaing serta mampu melakukan penelitian dalam dunia kesehatan. Kurang pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terkait pelayanan kesehatan dan kedokteran memaksa pelayan kesehatan, rumah sakit, laboratorium, dan sebagainya untuk bertahan pada level di bawah Singapura dan Malaysia.
Belum meratanya pendidikan di seluruh wilayah Indonesia menyebaabkan banyak potensi dan bakat anak-anak Indonesia yang tidak sempat tersalurkan. Bak mutiara di dalam laut, tidak terlihat oleh dunia dan belum bisa diberdayakan sebagai mana mestinya. Sewaktu pak Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan, terealisasi program Indonesia Mengajar. Yang mana melibatkan sarjana yang ditugaskan untuk mengajar di daerah-daerah yang belum terjamah pemerataan pendidikan.
Seperti halnya Indonesia Mengajar, ada juga program SM3T yang merupakan kependekan dari Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Program ini melibatkan LPTK (Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan) dalam menyeleksi sarjana yang sekiranya memenuhi kriteria dan lolos persyaratan untuk nantinya ditugaskan untuk mengajar di daerah 3T. Tidak dibebaskan bagi suatu LPTK untuk mengirim sarjananya ke daerah yang dikehendaki. Akan tetapi telah ditentukan daerahnya pun berikut kuota pengirimannya. Program ini baik dan efektif, namun tak selamanya daerah 3T hanya menjadi tempat untuk menampung guru sebelum berlanjut ke alur pelatihan PPG (Pendidikan Profesi Guru) untuk bisa menjadi guru professional. Perlu ada keseriusan pemerintah dengan mendistribusikan guru professional tetap dan perbaikan sarana, prasarana serta infrastruktur yang menunjang pendidikan ke daerah 3T.
Arti pentingnya bersekolah atau mengenyam pendidikan perlu ditanamkan oleh segala elemen kemasyarakatan agar anak-anak memiliki semangat untuk mengenyam pendidikan sedini mungkin. Cita-cita yang tinggi dan mulia juga baiknya telah dimiliki oleh anak-anak agar mereka terus berusaha keras untuk menggapai apa yang mereka impikan tersebut. Seorang anak yang cita-citanya tak lebih dari profesi orang tuanya dikala itu, akan memiliki semangat belajar dan bekerja yang tidak maksimal. Tidak sepenuhnya bersungguh-sungguh karena mereka melihat impian itu telah ada pada orang tuanya. Berbeda halnya dengan anak yang memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia. Dengan tingginya impian yang mereka buat, maka berpengaruh pada kerasnya usaha mereka untuk mengejar dan menggapai mimpi yang akan terlihat pada etos belajar dan bekerja yang baik nantinya.
Persaingan memang tak akan ada habisnya dalam segala bidang maupun berbagai aspek kehidupan. Manakala Indonesia pada tahun 2030 serupa perkembangan ipteknya dengan Jepang pada tahun 2017, tentulah waktu yang terus bergerak maju dan perubahan zaman tak memberi kesempatan banyak bagi Indonesia untuk menyaingi Jepang pada tahun yang sama, yakni 2030. Tak perlu banyak mengimpor teknologi terbaru dari negara-negara maju untuk bisa setara dengan mereka. Sebab hanya akan mempertegas budaya konsumtif dan rasa takut untuk bersaing. Yang perlu dilakukan Indonesia yaitu menanamkan arti pentingnya pendidikan sedini mungkin. Supaya bisa menjadi modal untuk bersaing pada level nasional dan internasional. Semangat bersaing dan jiwa kemandirian perlu tertanam pada lahir dan batin warga Negara Indonesia agar bisa mengelola SDA secara mandiri, meminimalisir impor, menciptakan produk unggulan untuk diekspor, tercipta tenaga kerja yang mampu bersaing dan menempati posisi atau jabatan strategis baik dalam negeri maupun luar negeri serta melahirkan generasi penerus pemimpin bangsa yang peduli akan pendidikan dan tidak takut akan persaingan.
Komentar
Posting Komentar