Sesuai Judulnya

Pemuda Berdikari, Indonesia Berdaulat
Oleh : Reza Ardiansyah Saputra

“Anak muda minim pengalaman, oleh karena itu ia tak tawarkan masa lalu. Anak muda  tawarkan masa depan. Ia gelar harapan.”
– Anies Baswedan
Tahun 2030 Indonesia akan dihadapkan dengan adanya puncak bonus demografi, suatu keadaan di mana jumlah penduduk di usia produktif (15-64 tahun) akan lebih banyak daripada penduduk usia anak-anak (14 tahun ke bawah) maupun lanjut usia (65 tahun ke atas). Keadaan tersebut bagaikan pisau bermata dua. Apabila bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal, maka akan berdampak positif (menjadi berkah) dalam segala bidang, terutama dalam perekonomian negara. Sebaliknya, apabila bonus demografi nantinya tidak dapat dikendalikan, maka akan berdampak pada ‘membludaknya’ jumlah pengangguran di Indonesia (menjadi musibah). Pertanyaannya adalah, siapa yang paling berperan mengendalikan negeri ini saat puncak bonus demografi terjadi pada 2030? Jawabnya adalah anak-anak yang saat ini (2019) sedang berusia belasan tahun (teens). Oleh karena itu, lapangan kerja bagi mereka harus dipersiapkan dari sekarang, agar memudahkan mereka nantinya berkontribusi membangun negeri ini.

  Berangkat dari permasalahan lapangan kerja yang belum bisa mengakomodir keseluruhan pelamar kerja, Indonesia kini dihadapkan dengan masalah lainnya, yakni fenomena pekerja asing yang berbondong-bondong menuju ke Indonesia. Mereka menjadi investor atau bahkan hanya menjadi pekerja kasar. Keran impor telah dibuka, dan barang impor mengucur dengan derasnya –termasuk juga TKA. Sebagai salah satu negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN, sudah barang tentu Indonesia memahami konsekuensi dari kebijakan bebas visa yang diterapkan di negara-negara anggota ASEAN. Impor dan ekspor dengan mudahnya dilakukan di kawasan tersebut. Jika Indonesia tidak siap, maka yang terjadi adalah Indonesia akan menjadi ladang yang kebanjiran barang-barang impor –termasuk juga TKA.

  Bentuk antisipasi dari dominasi produk luar negeri adalah dengan menjadi bangsa yang mandiri. Hal tersebut pernah digagas oleh Bung Karno dalam politik berdikari. Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965 ; ‘Tahun Berdikari’. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Dalam kesempatan tersebut ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu, ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Gagasan berdikari dalam ekonomi yang digagas Bung Karno sangat tidak menghendaki adanya eksploitasi dari bangsa imperialis, dalam hal apapun. Dalam hal kekayaan alam, bung Karno berprinsip bahwa Indonesia sebagai negara dengan hasil bumi yang melimpah, harus bisa menjaga dan mengelola kekayaan alamnya tersebut dan jangan sampai di’perkosa’ oleh bangsa asing. Hal tersebut baginya adalah harga diri bangsa. Tanda Indonesia telah berdikari hal ekonomi adalah ketidaktergantungan Indonesia terhadap produk-produk asing, kemandirian dalam mengelola sumber daya alam dan bermunculannya pemuda-pemudi Indonesia yang mampu bersaing dikancah global.

  Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya raya, tidak hanya dalam hal sumber daya alam, tapi juga dalam hal budaya. Kendati demikian, budaya Indonesia yang kaya raya bukan tidak mungkin akan terkikis oleh masa dan bahkan hilang sama sekali. Konsekuensi yang harus diterima oleh negara yang kaya akan budaya ialah, harus secara konsisten menjaga budaya agar tetap lestari. Tidak dibenarkan bangsa Indonesia yang kental akan budaya leluhur, harus terhipnotis dan terjebak dalam gaya hidup kebarat-baratan dan semakin meninggalkan kearifan lokal. Karenanya, bung Karno menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi. Sebagai regenerasi, harus tertanam prinsip bung Karno dalam jiwa dan sanubari pemuda-pemudi Indonesia, yaitu berkepribadian dalam kebudayaan. Melalui implementasi dari prinsip tersebut, maka terjadinya dekadensi moral dapat dihambat atau bahkan ditolak, dan bangsa Indonesia tentunya tidak perlu repot-repot belajar budaya bangsa sendiri pada negara lain.

Berbeda dengan bung Karno yang memandang muda-mudi sebagai alat untuk mencapai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdaulat, Tan Malaka memandang pemuda sebagai pionir perubahan yang identik dengan idealisme dan semangatnya. Baginya, idealisme itu sendiri adalah kemewahan yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda. Sedangkan semangat, adalah aura yang dimunculkan dari dalam diri pemuda ketika menginginkan sesuatu. Cara pandang yang visioner menjadi salah satu ciri pemuda, yang agaknya tidak berbanding lurus dengan cara pandang golongan tua, yang semakin tua semakin realistis. Untuk menjadi negara yang berdaulat (dalam hal ekonomi, dan lainnya) maka diperlukan intervensi dari para pemuda yang pola pikirnya peka terhadap pembaharuan. Kristalisasi semangat pemuda yang tertuang dalam sumpah pemuda (1928), harus kembali digaungkan secara masif, agar para pemuda Indonesia tergugah semangatnya untuk berdiskusi, berinovasi dan berkontribusi demi terciptanya NKRI yang berdiri di atas kaki sendiri, dan perlahan melepaskan diri dari belenggu hutang negara terhadap negara lain.

  Sudah saatnya pemuda Indonesia bangkit dan mulai memikirkan masalah-masalah kebangsaan. Bukan malah sibuk dengan gadget –candu game online dan media sosial– dan persoalan asmara yang hanya mengkerdilkan pemikiran idealis. Pemuda harus bergerak, harus bergabung dalam minimal satu komunitas pergerakan dan membuat sebuah gerakan sosial yang kontributif  –misalnya saja gerakan mengajar. Dengan begitu, ilmu mereka akan dapat dinikmati masyarakat. Tidak seharusnya pemuda berdiam diri, ketika mengetahui negaranya berhutang ribuan trilyun  –bahkan lebih– terhadap negara China. Pemuda tidak boleh terlalu sering tidur, karena hal tersebut hanya akan membuat otak mereka semakin tumpul. Ditambah lagi budaya membaca yang tidak teratur atau bahkan tidak sama sekali dalam sehari, memperjauh angka rasio kualitas pemuda Indonesia dengan ex penjajahnya –Jepang. Pemuda harus lebih sering berkumpul, bukan untuk membicarakan game online dan curahan hati tentang ‘si dia’, melainkan untuk membahas isu sosial politik, bertukar pikiran mengenai berbagai disiplin ilmu, dan menjadi produktif dengan menghasilkan karya-karya yang inspiratif. Waktu terus bergulir, dan datangnya tahun 2030 (yang didalamnya diprediksi Indonesia mengalami bonus demografi) adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi). Masalahnya adalah, apakah Indonesia sudah siap untuk itu? Jawabannya adalah Indonesia pasti siap, dan Indonesia pasti berdaulat. Asalkan : Pemudanya berdikari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sambutan Ketua Panitia BTS

Film Sang Pemimpi Resensi

Stop Instanisasi Pengetikan!